Kamis, 19 Februari 2009

DAULAH BANI ABASIYAH ( KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN )

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah dunia, Islam sebagai salah satu bagian sejarah dunia, telah menorehkan sebuah sejarah yang sulit bahkan tidak mungkin terlupakan dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia. Tercatat dalam sejarah dunia bahwa Islam memiliki sumbangan yang begitu besar untuk kemajuan peradaban dunia. Sumbangan-sumbangan besar itu di antaranya tercatat berasal dari satu kekhilafan Islam yakni Bani Abbasiyah.
Terlepas dari berbagai pendapat tentang Abbasiyah, kekhilafahan ini telah memberikan sumbangan besar bagi peradaban dunia. Pada masa ini banyak sekali muncul ilmuwan-ilmuwan besar dalam Islam. Seiring dengan hal di atas terjadi penerjemahan buku-buku karya bangsa diluar Islam, sehingga bertambah maraklah khazanah keilmuan Islam. Perpustakaan-perpustakaan dibangun, dan bagi yang memberikan sumbangan dalam khazanah ilmu, khalifah tidak segan-segan untuk memberikan pnghargaan.
Tidak hanya dalam bidang keilmuan, dalam bidang politik dan pemerintahan juga terjadi peningkatan yang luar biasa, Bidang seni, sosial mengalami peningkatan yang signifikan sehingga Abbasiyah tampak sebagai sebuah imperium baru yang sulit atau bahkan tidak tertandingi dalam masa itu dan mustahil untuk diruntuhkan.
Akan tetapi memang tidak bisa dipungkiri, betapapun hebat dan kuatnya sebuah imperium, tidak mampu mengalahkan kehendak Tuhan. Imperium Besar dalam sejarah inipun harus tunduk kepada Sunnatullah yang mengharuskannya untuk turun dari tahta kejayaanya, sehingga akhirnya ia harus rela kejayaanya terganti oleh kejayaan yang baru.
Berangkat dari hal diatas, makalah ini akan mencoba untuk meretas dan merajut benang-benang kusut sejarah., mencoba menampilkan setetes embun bening dari kejayaan Islam dalam bingkai Khilafah Bani Abbasiyah berikut setetes air keruh merosotnya khilafah ini, sehingga benar-benar khilafah ini, kini tinggalsebuah kenangan indah dalam sejarah Islam. Namun, pemakalah berharap dengan menampilkan sejarah ini, umat Islam akan kembali bangkit dari keindahan semu yang “menina bobokkannya” sehingga umat Islam mampu mewujudkan dimasa yang akan datang.
Keterbatasan penulis tentunya, membuat pemaparan sejarah ini, menjadi kurang sempurna dalam pembahasannya, sehingga harapan penulis, sumbangan masukan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
















BAB II
PEMBAHASAN
DAULAH BANI ABBASIAH
(KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN)

A. Sepintas Khilafah Bani Abbas
Bani Abbas mewarisi imperium besar dari Bani Umayah. Hal ini merupakan satu modal besar bagi imperium baru ini untuk berkembang lebih besar, mengepakkan sayapnya di antero dunia. Imperium baru ini dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW.
Kemunculan Bani Abbasiyah berlatar belakang atas kekecewaan Bani Hasyim terhadap kepemerintahan Umayah. Mereka kemudian menggandeng kelompok-kelompok oposisi dalam masa itu seperti syiah dan mawali yang merasa dinomorduakan oleh Umayah untuk menyusun sebuah kekuatan baru dalam menumbangkan imperium besar yang dibangun oleh Umayah.
Pendiri Dinasti ini adalah Abdullah Al Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah ibnu Al-Abbas. Dalam literatur lain disebutkan bahwa pendiri dinasti ini adalah 3 orang, yaitu :
1. Ibrahim Al- Iman, seorang pembangun dan yang memperkokoh keluarga Bani Abbas.
2. Abu Abbas, seorang yang diangkat pertama kali sebagai Khalifah dari keturunan Bani Abbas dan yang memproklamirkan berdirinya daulah Bani Abbas.
3. Abu Ja’far Al-Mansur, seorang Khalifah Bani Abbas yang memperkuat berdirinya daulah Bani Abbas.
Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktuya panjang dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1258 M). Pemerintahan dinasti ini merupakan suatu pemerintahan yang cukup gemilang dalam berbagai hal diantaranya politik, kepemerintahan, sosial, seni dan yang tak kalah pentingnya adalah dunia ilmu pengetahuan. Walaupun yang relatif bertahan lama adalah perkembangan ilmu pengetahuan, sedang politik khususnya semakin menunjukkan kemunduran.
Pada masa pemerintahan ini, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan dinasti ini kepada dalam lima periode:
1. Periode pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334H/945M – 447H/1055M), masa kekuasaan dinasti Buwaihi dalam pemerintahan khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut juga pengaruh Persia kedua.
4. Periode kepada-empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan Abbasiyyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
B. Kemajuan Abbasiyah
Pemerintahan Abbasiyah mencapai masa keemasannya pada periode pertama. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat pada periode ini juga mengalami kemakmuran tingkat tinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Abbasiyah menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M - 754 M. Karena itu pemerintahan sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Manshur (754 M - 775 M). Dia orang yang sangat keras menghadapi lawannya dari Ummayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Demi mengamankan kekuasaannya tokoh-tokoh besar yang dianggap berbahaya disingkirkan, Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, pamannya sendiripun yang sebelum yang ditunjuk sebagai gubernur Syiria dan Mesir oleh khalifah sebelumnya, dibunuh karena tidak mau membai’atnya dengan mengutus Abu Muslim Al-Khurasani yang kemudian disingkirkan karena dianggap berbahaya.
Pada awalnya ibukota Negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Khufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara, maka ibu kota dipindah di kota yang baru dibangunnya, Bagdad pada tahun 762 M. Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya di zaman Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813 – 833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dan farmasi didirikan. Tercatat ada 800 orang dokter. Pemandian-pemandian umum dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan sosial, kesehatan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya Islam menjadi sebuah Negara terkuat dan tak tertandingi.
Periode berikutnya Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, adalah seorang yang cinta pada ilmu pengetahuan. Pada masa inilah terjadi peristiwa penerjemahan buku-buku asing. Khalifah sangat menghargai terhadap siapa saja yang menemukan dan mengadakan penelitian terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah tidak segan-segan untuk memberikan hadiah yang besar bagi mereka. Pada masa ini pula dibangun perpustakaan yang menjadi salah satu karya besarnya yaitu Baitul Hikmah, yang berfungsi sebagai pusat penerjemahan dan perguruan tinggi. Pada masa ini pula Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Abbasiyah juga tercatat sebagai dinasti yang telah memunculkan ilmuwan-ilmuwan besar dunia sepanjang masa, baik di bidang agama maupun pemikiran. Tercatat sebagai ulama dan ilmuwan besar pada masa Abbasiyah adalah Abu Hanifah dengan madzhab hukumnya, Imam Malik dengan sifat madzhab tradisionalnya dan Imam Syafi’i dengan sifat moderatnya. Termasuk pula ilmuwan sekaligus filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Ghazali, maha guru tasawuf dengan kitab monumentalnya Ihya “Ulumuddin dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan yang lain.
Di sisi lain Abbasiyah juga memberi peluang besar bagi orang-orang di luar Arab yang pada masa Umayah dinomor duakan untuk masuk dalam pemerintahan, yang dimulai dengan keberadaan mereka sebagai tentara pengawal, sehingga ketentraman pada masa ini terbina dengan sangat professional. Namun demikian banyak sekali tantangan-tantangan yang mengganggu stabilitas baik di kalangan Abbas sendiri maupun di luar.
Dari gambaran tentang Abbasiyah di atas terlihat bahwa Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan lebih dibanding daripada perluasan wilayah. Akan tetapi pada ciri-ciri khusus Bani Abbasiyah yang tidak terdapat pada Bani Umayah,
1. Dengan berpindahnya ibukota kepada Bahdad, Abbasiyah jauh dari pengaruh Arab.
2. Dalam penyelenggaraan Negara, dalam Abbasiyah terdapat wazir, yang membawahi kepala departemen-departemen.
3. Ketentaraan professional.
C. Kemunduran Abbasiyah
Sebuah hal yang hampir pasti, bahwa kekuasaan dan kebesaran akan berganti, bergeser dari tempat yang satu kepada tempat yang lain. Imperium besar yang telah dibangun Abbasiyah dengan pondasi yang kuat, seolah tidak terjatuhkan, harus tunduk kepada hukum Tuhan. Sebuah imperium besar harus mengalami kemunduran untuk kemudian berganti dengan imperium baru.
Kemunduran Abbasiyah disebabkan oleh beberapa faktor. Namun faktor-faktor kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam catatan sejarah, kekuasaan Abbasiyah apabila dipimpin oleh Khalifah yang kuat, maka para menteri cenderung sebagai kepala pegawai sipil, namun sebaliknya apabila khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Inilah yang kemudian menyebabkan Abbasiyah mulai mundur dimasa kejayaannya. Namun demikian, kelemahan khalifah ini bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab kemunduran Abbasiyah. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan antar bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Ini dilatarbelakangi persamaan nasib selama pemerintahan Umayah. Persekutuan ini tetap berjalan sampai akhirnya Abbasiyah berkuasa. Pada saat itu mereka menjadi warga kelas satu.
Meskipun demikian orang-orang Persi merasa tidak puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai orang Persi pula. Sementara orang Arab beranggapan darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Wilayah Abbasiyah yang luas terbentang meliputi berbagai bangsa yang berbeda seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki, dan India yang hanya disatukan bangsa Semit, menyebabkan munculnya fanatisme bangsa yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Abbasiyah mengalami kemerosotan ekonomi bersamaan dengan kemunduran bidang politik. Menurunnya pendapatan Negara pada masa ini, disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil memerdekakan diri dan tak membayar upeti. Sedang pengeluaran membengkak karena kehidupan khalifah dan pejabat yang mewah dan maraknya korupsi para pejabat.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita Persi yang tidak sepenuhnya tercapai, mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroatisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang kemudian dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda keimanan khalifah. Al-Mansur berusaha memberantasnya. Al-Mahdi bahkan mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang–orang Zindiq dan melakukan Mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Namun semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Disaat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak yang berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah adalah aliran politik dalam Islam yang dihadapkan pada paham Ahlus Sunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang sering melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya memerintahkan agar makam Husein di Karbella dihancurkan. Namun Al-Munthasir, anaknya kembali membolehkan Syi’ah menziarahi makam Husein.
Tidak hanya terbatas konflik antara Muslim dan Zindiq atau Ahlus Sunnah dan Syi’ah saja. Antar aliran dalam Islam pun juga mengalami konflik. Mu’tazilah yang rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselihan ini dipertajam Al-Ma’mun dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara dan melakukan Mihnah. Pada masa Al-Mutawakkil, Mu’tazilah dibatalkan sebagai madzhab Negara dan golongan salafpun naik daun.
4. Ancaman dari Luar
Disamping faktor-faktor internal di atas ada pula sebab-sebab Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol kepada wilayah Islam.



KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan:
1. Abbasiyah mengalami kemajuan diawal-awal pemerintahannya.
2. Abbasiyah mengalami kemajuan luar biasa khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
3. Abbasiyah lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
4. Kemunduran Bani Abbas disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya:
a. Kelemahan para Khalifah
b. Persaingan antar bangsa
c. Kemerosotan ekonomi
d. Konflik keagamaan
e. Ancaman dari luar















KESIMPULAN

Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, cet. 4, Bandung: Rosdakarya, 1994.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Departemen Agama RI, Sejarah Kebudayaan Islam, Departemen Agama, 2002.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar