الا عما ل صور ورواحها وجود سر الاخلا ص فيها.......... الحكم
Amal – amal adalah gabar sedangkan ruhnya adala adanya rahasia iklash di dalamnya….” Al Hikam.
Seringkali manusia tertipu dengan sangkaannya sndiri. Mereka menganggap bahwa banyaknya amal yang mereka lakukan adalah wujud kedekatan mereka pada Sang Khaliq. Padahal dalam sebuah hadits shahih di sebutkan :
من ازدا د علما ولم يزدد هدى لم يزد د من الله الا بعدا
Artinya : “ Barangsiapa yang semakin bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya maka ia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”.
Hadits ini memberikan pemahaman bahwa semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang itu belum tentu menunjukkan kedekatannya pada Allah SWT. Tinggi dan banyaknya ilmu yang di miliki seseorang apabila tidak di sertai hidayah dari Allah swt justru akan menjadikan ilmu itu menjadi sebuah laknat dan bomerang yang akan semakin menjauhkan manusia dari sisi Allah swt.
Hadits di atas juga memberikan pemahaman bahwa semakin banyak amal ibadah, riyadhah dan apapun aktivitas ibadah manusia secara lahir itu tidak menjadi jaminan bahwa orang tersebut dekat dengan Allah. Banyaknya amal, riyadloh dan segala bentuk ibadah lahir itu tiada lain hanyalah sebuah gambar semata sedang ruh yang akan menjadikan amal itu berarti dan memiliki arti penting yang akan menghidupkan amal itu tiada lain adalah keikhlasan dari sang pelaku itu sendiri.
Ikhlas adalah perbuatan dan kondisi batiniah yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain. Ikhlas merupakan sebuah ketulusan dalam jiwa seseorang yang hanya di ketahui oleh orang yang malakukan amal dan Allah SWT. Betapapun bibir manusia berkata ribuan kali kata ikhlas akan tetapi itu belum tentu menjadi jaminan bagi ikhlasnya amal yang ia lakukan.
Ikhlas secara bahasa mengandung arti bersih, suci, murni. Dalam syari’at islam ikhlas di artikan sebagai pemurnian terhadap amal – amal ibadah tanpa pamrih apapun melainkan ridlo Allah SWT. Orang yang ikhlas tidak akan pernah berharap akan balasan dari orang yang di bantunya. Sebagaimana gambaran kedua orang tua yang menghidupi dan mendidik anak – anaknya hingga ia tumbuh menjadi orang dewasa. Tanpa pamrih apapun dari anak tersebut karena rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya.
Seorang yang ikhlas dalam beramal kepada Allah tidak akan pernah mmeminta balasan dari Allah SWT ketika ia sedang beramal. Ia beribadah kepada Allah hanya semata – mata karena cinta kepadaNYA. Ia tidak akan pernah berharap akan surga dan tidak pula berharap jauh dari neraka. Yang ia harapkan hanya ridlo dari Allah semata. Mengharap surga bagi seorang mukhlis adalah hal yang sangat tida etis karena baik surga maupun neraka keduanya hanyalah makhluq Allah SWT. Padahal dalam sebuah ayat al qur’an di sebutkan:
قل لا املك نفسى ضرا ولا نفعا الا ما شاء الله
Artinya : “Katakanlah ( Wahai Muhamad ) sesungguhnya aku tidak memiliki kemapuan untuk mengambil suatu kemanfaatan dan kemadlorotan atas diriku sendiri keculi apa yang telah di kehendaaaki oleh Allah SWT”
.
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa manusia itu tidak akan pernah mampu dan bisa untuk mengambil satu manfaat ataupun madlorat bagi dirinya kecuali atas kehendak Allah. Demikian juga surga dan neraka. Surga akan mampu memberikan nikmat kepada manusia apabila Allah mengizinkannya. Neraka juga akan menjadi siksa bagi manusia ketika Allah menghendakinya. Akan tetapi apabila Allah berkehendak lain, maka surga dan neraka tidak akan berfungsi sebagaimana yang kita pahami saat ini. Demikanlah orang yang ikhlas dalam beramal tidak pernah memandang kepada surga dan neraka ketika beramal. Ia hanya mengharap ridla Allah dalam amalnya.
Lebih jauh lagi dalam pandangan sufi, maka ikhlas adalah sebagaimana di sebutkan dalam kitab Sulam Taufiq :
الا خلا ص هوترك الاخلا ص فى الاخلا ص فهو الاخلا ص
Artinya : Ikhlas adalah meninggakanl merasa bisa ikhlas di saat melakukan perbuatan ikhlas”.
Ungkapan di atas memberikan pemahaman bahwa ikhlas bukan hanya sebuah konsep yang terucap dengan kata – kata. Lebih dari itu ikhlas memberikan pengertian yang sangat dalam bahwa kikhlasan itu harus sampai pada tingkat dzauqiyah. Tingkatan rasa yang menyatu dalam perbuatan bahwa ketika kita sedang beribadah, kita sadar dan yakin sepenuhnya bahwa apa yang kita kerjakan itu hanya semata – mata karena pertolongan dari Allah SWT. Manusia tidak mampu melakukan apapun terkecuali atas kehendak dan izin Allah SWT. Ungkapan ini senada dengan kalimah hauqalah yaitu :
لا حو لا ولا قوة الا با لله
Artinya : “ Tiada daya ( untuk melakukan perintah Allah ) dan tiada kekuatan ( untuk menjauhkan diri dari larangan Allah ) kecuali atas kehendak ( fadlal ) Allah”.
Orang yang mampu menerapkan hal ini dalam kehidupan sehari – hari, maka ia adalah orang yang sangat beruntung karena mendapat fadlal yang besar dari Allah. Ikhlas memang hal yang sangat sulit untuk di laksanakan . Akan tetapi sulit itu bukan berarti tidak bisa. Asalkan kita selalu bersungguh – sungguh dalam bermohon dan munajat kepada Allah pasti Allah akan memberikan anugerah itu kepada mereka yang bersunguh – sungguh untuk mendapatkannya. Allah SWT berfirman di dalam kitab suci Al Qur’an:
والذ ين جا هد وا فينا لنهد ينهم سبلنا
Artinya : “ Barangsiapa yang bersungguh – sungguh ( menuju kami ), pasti sungguh akan kami tunjukkan jalan kami”.
Demikianlah Allah SWT telah memberikan lampu hijau kepada mereka yang mau bersungguh – sungguh untuk mencari ridlaNYA pasti Allah akan tunjukkan jalan – jalanNYA. Tinggal manusia mau ataukah tidak untuk berjuang melawan nafsunya untuk menuju kepada keridlaanNYA. Semoga Allah menunjukkan kepada kita jalan yang terang serta menaungi segala langkah kita agar kita senantiasa mendapat nikmat karunianNYA yang sempurna untuk senantiasa FAFIRUU ILALLAAH WA RASUULIHI SAW. Allaahu A’lam.
محمد فطانى البلتا رى
Tidak ada komentar:
Posting Komentar