Rabu, 18 Februari 2009

SUFI SEJATI ADALAH YANG MAMPU MELEBUR DIRI

“ Peleburan sejati adalah ketika Allah menciptakan pada diri para wali perasaan takut- yakni ketakutan akan perpisahan…..”

Dalam islam kita mengenal adanya khauf dan raja’. Secara lughat khauf mempunyai makna takut, sedang raja’ mempunyai makna berharap. Kedua kata ini seringkali di hubungkan dengan hal ikhwal peribadatan seorang hamba kepada Tuhannya.

Kita mengenal dalam islam ada tatanan yang mengatur hubungan aktifitas manusia secara lahir dan batin. Secara lahir tatanan ini lebih kita kenal dengan syari’at atau fiqih. Sedang tatanan yang mengatur aktifitas manusia secara batin kita kenal dengan hakikat.

Secara syari’at ( tatanan lahir ), khauf lebih di pahami sebagai sebuah rasa yang muncul dalam hati manusia berupa rasa takut akan siksa dan adzab Allah SWT. Sehingga dalam hal ini, seorang “abid akan menyembah Allah karena sebuah dorongan dan pamrih ingin selamat dari siksa atau dengan kata lain ingin surga. Hal ini menandakan bahwa ia masih mengakui adanya kekuatan lain yang mampu berbuat kemudharatan pada dirinya selaaain Allah. Dan itu berarti masih ada unsur syirik di dalam ibadahnya walaupun dalam tataran syirik khafi. Padahal Allah telah berfirman :

قل لا املك نفسى ضرا ولا نفعا الا ما شاء الله

Artinya : “ Katakanlah ( wahai Muhammad SAW ): “ aku tidak memiliki kuasa atas diriku sendiri untuk berbuat madharat dan menarik kemanfaatan kecuali apa yang telah di kehendaki Allah SWT”.”

Khauf menurut pandangan hakikat lebih di maknai sebagai sebuah rasa yang muncul dalam diri seorang ‘abid berupa rasa takut akan kehilangan dan berpisah akan Dzat yang di cintai yaitu Allah SWT. Kecintaan yang begitu mendalam menyebabkan kekhawatiran dan rasa takut akan kehilangan orang yang di cinta. Ibarat seorang remaja yang sedang dimabuk cinta takkan pernah sanggup untuk berpisah dengan kekasih hatinya.

Dengan demikian tak ada lagi rasa dalam diri seoran ‘abid yang masuk dan sampai pada maqam ini suatu perasaan bahwa ada kekuatan di luar Dzat yang di cintainya “ Allah SWT “. Ia beribadah semata – mata hanya untuk Allah bukan karena ingin surga atau takut neraa. Ibadahnya hanya karena rasa cinta dan rindu kepada Tuhannya.Sebagaimana perkataan seorang sufi : “ …..Yaa Tuhanku ! Seandainya aku beribadah kepadaMU karena mengharap akan surgaMU, maka jauhkanlah aku darinya! Dan seandainya aku beribadah kepadaMU karena takut akan siksa api neraka, maka masukkanlah aku ke dalamnya! Tapi jika seandainya aku beribadah karena cinta kepadaMU, maka jangan biarkan aku berpisah denganMU barang sedetikpun”.

Itulah gambaran dari seorang sufi sejati. Seorang sufi bukanlah orang yang mengaku – aku sebagai sufi. Akan tetapi seorang sufi adala seorang yang mampu menghilangkan rasa ke – aku- an dan keber-ada-an sesuatu diluar Allah. Diluar Allah tidak ada, yang ada hanya Allah. Aku bisa makan karena di makankan oleh Allah. Aku bisa pandai, dipandaikan Allah. Atau dalam istilah lainnya addalah :

لا حولاولا قوة الابالله

Artinya : “ Tiada daya (untuk melaksanakan perintah Allah ) dan kekuatan ( menjauhi larangan Allah ) kecuali dengan fadhalnya Allah SWT”

Raja’ dilihat dari segi syari’at adalah harapan akan nikmat Allah SWT.Dilihat dari sisi ini, maka ada wujud diluar wujud Allah SWT yang berupa nikmat. Entah itu nkmat lahir maupun nikmat batin. Padahal salah satu sifat wajib bagi Allah adalah sifat wujud dan mukhaalafatu li al hawaadits pada sisi yang lain. Berarti kalau Allah itu wujud maka selain Allah adalah ‘adam ( tidak ada ). Adanya makhluk adalah semu. Makhluk wujud karena ia di wujudkan. Ia tidak mampu wujud dengan dirinya sendiri. Tanpa ada yang mewujudkan, mustahil ia akan ada.

Dengan demikian sebuah I’tikad akan adanya sesuatu diluar Allah adalah sebuah pengingkaran terhadap sifat Mukhaalafatu li al hawaadits. Dan sebuah pengingkaran terhadap saalh satu sifat yang dimiliki Allah sama halnya dengan menyekutukan Allah walaupun masih dalam sebuah tataran yang sangat tipis dan samar yang kita sebut dengan syirik Khafi. Hal ini di sebabkan karena menganggap bahwa Allah sama dengan makhluq, yaitu sama – sama memiliki sifat ada. Padahal Allah tidak sama dengan makhluk.

Raja’ apabila di pandang dari sudut hakikat mempunyai pengertian pengharapan akan pertemuaan dengan Sang Khaliq ( Wushuul Ila Allah ). Allah tidak dapat dilihat secara kasat mata, namun – menurut keyakinan para sufi- Allah bisa dilihat dengan mata hati. Hati manusia merupakan pusat dari segala aktifitas manusia. Pandangan mata lahir manusia hanya mampu memandang dan melihat segala hal yang tampak. Sedang mata batin manusia mampu melihat dan memandang segala hal tanpa terbatas ruang dan waktu.

Pada dasarnya raja’ ini tidak boleh lepas ddari aktifitas lahir manusia. Karena raja’ ini adalah aktifitas hati, maka seorang ‘abid tidak boleh merasa cukup dengan mengandalkan tumpukan ibadah lahirnya dengan tanpa adanya raja’ kepada Allah. Hal ini sangat di kecam, karena di dalm amal ini terdapat sifat sombong yang terselip dalam tumpukan ibadah yang sangat ia banggakan. Kebanggaan pada banyaknya amal ini akan membuat ‘abid akan menjagakan amal ibadahnya dan lalai pada tujuan ibadah yang sebenarnya. Oleh sebab itulah antara raja’ dan amal harus seiring dan sejalan. Bagaikan dua keping mata uang yang tak dapat di pisahkan antara yang satu dengan yang lain. Demikian halnya antara syari’at dan hakikat. Keduanya harus seiring dan sejalan. Syari’at tanpa adanya hakikat adalah kosong, sedang hakikat tanpa adanya syari’at adalah batal. Sebagaimana di tegaskan oleh Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah :

شريعة بلاحقيقة عا طلة وحقيقة بلا شريعة با طلة

Artinya : “ Syariat tanpa hakikat kosong dan hakikat tanpa syari’at batal “.

Dalam dunia tasawuf kita mengenal adanya maqam jam’u ( kumpul-jawa ). Atau dalam istilah lain ada yang menyebutnya dengan fana’ atau lebur. Yang di maksud dengan fana’ atau lebur disini adalah meleburnya rasa seorang hamba kepada Tuhannya. Rasa yang muncul dalam diri seorang sufi yang tak bisa di gambarkan dalam retorika – retorka. Ibarat orang merasakan pedasnya cabe namun kata pedas yang ia ucapkan takkan mampu menggambarkan rasa yang ada dalam lidahnya tentang rasa pedas itu.

Pada kondisi fana’, seorang sufi tidak lagi mampu merasakan sesuatu melainkan kehadiran Allah. Bgitu dekatnya Allah dan begitu cintanya ia pada Allah hingga ia tidak lagi mampu merasakan kehadiran sesuatu selain Allah. Bahkan ia tidak mampu merasakan bahwa dirinya ada. Dalam kondisi semacam ini, biasanya seorang sufi sering mengeluarkan kata – kata yang sulit dipahami dan di terima oleh akal sehat manusia. Hingga apabila ini di pahami dengan kacamata syar’i maka yang terjadi adalah benturan antara rasa dan akal yang jelas akal menyalahkan dan menganggap bahwa itu adalah sesat. Peristiwa ini sering terjadi di masa islam kuno.

Di antara ulama’ – ulama’ sufi yang pernah mengatakan ungkapan – ungkapan nyleneh itu adalah Abu Mansur Al Hallaj, Abu Yazid Al Busthami, Abdul karim Al Jilli, dan Ibnu Arabi. Akibat dari ungkapan – ungkapan nyleneh ini kadang seorang sufi harus mati di tiang gantungan. Ungkapan nyleneh ini dalam dunia tasawuf di kenal dengan nama sathahat yaitu kata – kata ganjil yang keluar dari seorang sufi yang berada dalam kondisi fana’.

Sesungguhnya peristiwa yang tragis dalam sejarah itu tidak perlu terjadi apabiala ada pemahaman yang benar terhadap kondisi para sufi. Namun tampaknya pada saat itu banyak diantara para ulama’ yang hanya memandang dari sudut pandang syar’i sehingga yang terjadi adalah klaim bahwa tasawuf itu adalah menyimpang dan sesat. Padahal apabila ditinjau dari sebuah ayat Al Qur’an, maka kiranya kita akan membenarkan apa yang telah di lakukan oleh para sufi.

كل شئ ها لك الا وجهه

Artinya : “ Segala sesuatu itu hancur selain Allah SWT “. Allaahu A’lamu Bi Al Shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar