Kamis, 06 Agustus 2009

RASULULLAH SAW SANG PEMAAF




Memohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukan, adalah cermin jiwa kesatria. Adapun memaafkan kesalahan orang lain disaat terbuka kesempatan untuk membalas, termasuk akhlak yang tinggi dan merupakan cermin kebesaran jiwa dan tujuan yang suci bersih. Mudah memaafkan adalah sifat Rabbani, sifat wajib yang terdapat pada diri Allah SWT sebagai Al Ghafur. Dan Allah mendidik NabiNya Muhamad SAW agar memiliki sifat tersebut. Sebagaimana firmanNya :
“ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mngerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang – orang yang bodoh”. ( QS Al A’raf : 199 ).
Firman Allah SWT tersebut, Nabi wujudkan dalam segala tindak tanduk beliau, baik ucapan maupun perbuatan. Nabi SAW dalam berbagai kesempatan juga kerap menganjurkan para sahabat agar menghayati dan mengamalkan sifat pemaaf ini.
Bukti bahwa Rasulullah SAW adalah Sang Pemaaf, tersebar di banyak riwayat perjalanan kerasulan beliau. Sikap Rasulullah SAW saat menghadapi penduduk Mekkah Thaif, serta terhadap gembong mereka yang menjadi biang keladi fitnah dan kejahatan yang dengan sengaja dilancarkan kepada Rasulllah SAW, merupakan bukti sejarah yang tidak terbantahkan.
Hal pertama yang dilakukan oleh beliau Rasulullah SAW pada hari pertama dikuasainya kmbali kota Makkah, adalah memberi maaf secara besar – besaran kepada seluruh lawan dan penentangnya, termasuk pemimpin - pmimpinnya yang telah merajalela di bumi Makkkah, dengan segala bentuk kejahatannya. Peristiwa itu disebut dengan hari pengampunan umat.
Suatu hari di Makah, ketika Rasulullah SAW sedang thawaf mengelilingi Ka’bah, seorang lelaki bernama Fudlalah datang hendak membunuh Rasulullah SAW. Ketika Fudlalah mendekati Nabi, beliau SAW menegurnya, “ Engkau Fudlalah ?”
Ya aku Fudlalah “ jawabnya sinis. “ Apa yang kini terlintas di hatimu?“ tanya rasul. “ Tidak ada apa – apa, aku cuma menyebut dan ingat akan Allah “ jawab Fudlalah merah padam karena malu dan gugup. Maka tertawalah Nabi SAW seraya berkata , “ Astaghfirullah!” Kemudian beliau menghampiri dan meletakkan tangannya di atas dadanya. Maka dingin dan tenanglah hati Fudlalah . Selanjutnya ia berkata terus terang , “ Demi Allah, belum lagi Rasulullah SAW mengangkat tangannya dari dadaku, melainkan tak seorangpun manusia yang kucintai, lebih daripadanya”.
Seorang pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah, telah lama mengkaji dan mempelajari kitab – kitab lama yang berisi berita gembira akan kedatangan seorang nabi penutup juga tentang sifat – sifat serta cirri khas nabi yang dinanti – natikan itu, sebagaimana yang termaktub dalam kitab itu. Ternyata semua sifat dan tanda – tanda kenabian tersebut benar terbukti pada diri Rasulullah SAW. Hanya ada dua tanda yang masih belum diyakini karena sang pendeta belum menyaksikan langsung. Kedua tanda yang dimaksud, ialah kelapangan dada yang sanggup menguasai luapan nafsu amarahnya. Jika diperlakukan tidak wajar, semakin bertambah kesabaran dan ketenangan hatinya. Sang pendeta ingin membuktikan sendiri kedua tanda itu ada pada diri Nabi SAW.
Untuk itu Zaid sang pendeta yahudi, kerap menghadiri majlis Nabi SAW, dengan maksud mengujinya. Hingga pada suatu hari datang seorang Badui kepada Nabi SAW, mengadukan penderitaan hidupnya serta serba kekurangan yang dialami penduduk di dusunnya. Zaid yang menyaksikan hal itu lantas meyarankan kepada Nabi SAW memberikan apa yang diperlukan dan diminta orang tersebut. “ Saya yang akan membeli dari engkau sekian kwintal dengan harga sekian “. Kata pendeta sambil menyerahkan delapan puluh dinar kepada si Badui.
Tanpa banyak bicara uang dinar sebanyak itu diterima si Badui dan segera meninggalkan majelis Nabi. Selanjutnya Nabi SAW berjanji kepada Zaid, bahwa beliaulah yang akan membayar uangnya pada waktu yang telah ditentukan bersama.
Sebelum masa perjanjian habis, Zaid sang pendeta datang menemui nabi untuk menagih hutang, dengan kasar ia mendekati nabi dan menarik surban beliau keras – keras, hingga terlepas dari bahu beliau. Selanjutnya dengan muka bengis dan suara lantang ia berkata , “ Apakah engkau sengaja tidak menepati janji, dan tidak membayar hutangmu padaku? Kalian hai putra keturunan Abdul Muththalib, selalu dan suka menunda – nunda dalam membayar hutang. Dan aku mengetahui benar perangai buruk itu setelah lama bergaul dengan kalian”.
Menyaksikan hal itu Sayyidina Umar RA berdiri dengan marah seraya katanya, “ Tutuplah mulutmu hai bedebah, hai musuh Allah. Pantaskah engkau berkata demikian kepada Rasulullah? Demi Tuhan yang mengutusnya dengan agama yang benar kalau sekiranya aku tidak kuatir, bahwa masalah engkau dengan beliau tidak akan terselesaikan, niscaya kepalamu sudah kulepas dari batang tubuhmu”.
Nabi SAW hanya tersenyum melihat sikap panik sahabatnya, beliau lalu dawuh, “ Bukan itu yang penting bagiku dan bagi dia ya Umar. Semestinya engkau menyurhku membayar dengan baik, dan menyuruh dia menuntut haknya dengan baik pula”.
Kemudian nabi meneruskan dengan dawuhnya, “ Ya Umar, bawalah dia. Berikan dan penuhi haknya. Dan tambahkan lagi dua puluh kati buah kurma sebagai ganti rugi, karena gertak ancaman dan ucapanmu kepadanya.”
Maka tenang dan mantaplah hati pendeta Yahudi itu. Dia semakin yakin akan kerasulan Muhammad SAW, Karena semua tanda kenabian yang dicarinya selama ini, telah ditemukan selengkapnya pada diri Nabi Muhammad SAW.
Anas bin Malik bercerita : Pernah aku berjalan bersama Nabi SAW. Ketika itu beliau memakai sorban yang tebal lagi kasar yang dikalungkan pada lehernya. Tiba – tiba diluar dugaan, datang seorang Badui dan dengan kerasnya menarik sorban Nabi SAW hingga bekas tarikannya itu jelas terlihat pada belakang lehernya. Kemudian Badui yang baru turun dari gunung itu, berkata :“ Ya Muhammad penuhilah kedua untaku itu dengan barang dan kepunyaan Allah yang ada padamu“.
Mendengar ucapan Badui itu , Nabi SAW terdiam sejenak lalu katanyaa,“Benar ! Harta itu kepunyaan Allah dan aku adalah hambaNya, dan karena perbuatanmu kepadaku, engkau harus mendapat balasan yang setimpal“.
“Tidak“. Jawab Badui cepat.
“Kenapa?“ tanya Nabi .
“Karena engkau tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan pula“ . Jawab Badui tenang. Maka keranjang yang terdapat di untanya dipenuhi dengan burgul dan buah kurma.
Itulah beliau Rasulullah SAW yang dipuji Allah „ Wa innaka la’ala khuluqin `adzim“ sang uswatun hasanah. Yang selalu membalas kejahatan dengan kebaikan. Memberi maaf sebelum diminta. Dan selalu memaafkan kesalahan orang seberat apapun kesalahannya. Sudah seharusnya, kita sebagai umatnya meneladani sifat mulia beliau yang mudah meminta maaf dan mudah memaafkan. Sungguh, hidup akan terasa damai dan indah apabila sifat saling mamaafkan ini menjadi sikap dan kebiasaan setiap insan yang hidup di dunia.



Dikutip dari majalah Aham Edisi 79/Th.XI Syawwal 1420 hal 22 - 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar